Liputan6.com, Jakarta : Jepang menyerah pada Sekutu, Selasa
14 Agustus 1945. Sebelumnya, Hiroshima dan Nagasaki dihajar bom atom. Puluhan
ribu orang meregang nyawa. Tak ada pilihan lain.
Para pemuda mendesak agar sesegera mungkin. Bung Karno
terlihat hati-hati. Suasana tegang. Banyak pemuda yang membawa senjata: pisau,
golok, bahkan senapan.
Salah seorang pemuda, entah siapa, mengejek Bung
Karno,"Barangkali Bung Besar kita takut. Barangkali dia melihat hantu
dalam gelap. Barangkali juga dia menunggu-nunggu perintah dari Tenno
Heika."
Seorang pemimpin pemuda, Wikana, mendekat. "Revolusi
berada di tangan kami sekarang dan kami memerintah Bung. Kalau Bung tidak
memulai revolusi malam ini, lalu..." kata Wikana sebagaimana diceritakan
dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
"Lalu apa?" kata Sukarno dengan suara keras. Ia
bangkit dari kursi, amarahnya naik ke kepala. Ia melanjutkan, "Jangan aku
diancam. Jangan aku diperintah. Engkau harus mengerjakan apa yang kuingini.
Pantanganku untuk dipaksa menurut kemauanmu."
"Ini kudukku. Boleh potong...ayo! Boleh penggal
kepalaku...tapi jangan kira aku bisa dipaksa untuk mengadakan pertumpahan darah
yang sia-sia, hanya karena hendak menjalankan sesuatu menurut kemauanmu,"
teriak Bung Karno seperti dikisahkan kembali dalam otobiografi yang disusunnya
bersama penulis AS, Cindy Adams, itu.
Suasana sontak senyap. Para pemuda dirundung perasaan
campur-aduk: takut, marah, kaget, juga bingung. Tak ada yang buka suara.
Bung Karno kembali bicara. Kali ini, dengan tenang.
"Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang
tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaaan ini untuk
dijalankan tanggal 17."
"Mengapa justru diambil tanggal 17? Mengapa tidak
sekarang saja atau tanggal 16?" tanya Sukarni, salah seorang tokoh pemuda
yang lain.
"Saya seorang yang percaya pada mistik....Angka 17
adalah angka keramat, 17 adalah angka suci....Al Quran diturunkan tanggal 17.
Orang Islam sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi memerintahkan 17
rakaat, mengapa tidak 10 atau 20 saja? Oleh karena kesucian angka 17 bukanlah
buatan manusia," ujar Bung Karno.
Ia melanjutkan, "Pada waktu saya mendengar berita
penyerahan Jepang, saya berpikir bahwa kita harus segera memproklamirkan
kemerdekaan. Kemudian saya menyadari, adalah Kemauan Tuhan bahwa peristiwa ini
akan jatuh di hari-Nya yang keramat. Proklamasi akan diumumkan tanggal 17.
Revolusi menyusul setelah itu."
Pertemuan selesai. Para pemuda meninggalkan rumah tersebut.
Pada Kamis 16 Agustus dinihari, mereka kembali datang. Terjadilah
"Peristiwa Rengasdengklok" yang masyhur itu. (Yus)
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.